Kritis, Mengapa harus kritis? Haram, apakah karena kritis itu haram? Mengapa kritis itu di haramkan?
Gagasan yang ideal, kata orang, mustahil mekar kalau digembok dalam kandang. Gagasan hanya tumbuh dewasa, bila dilepas keluyuran seperti ayam kampung, diberi ruang supaya segala macam zat bebas bertandang, diizinkan berbenturan, bertabrakan, mati alami atau musnah kecelakaan. Tak banyak yang bersedia menerima wejangan semacam itu karena gagasan tak bisa diasuransikan. Sekali gagasan keluar dari sarang, resiko selalu menghadang, gagasan yang bugar dan berotot barangkali dapat lolos dari marabahaya dan paling-paling hanya lecet disana-sini, namun gagasan yang ringkih gontai nyaris tak berpeluang melangkahi masa kanak-kanaknya, bahkan ide yang lahir prematur hampir bisa dijamin tewas ditengah jalan.
itulah sedikit pengantar yang kini kian menjadi-jadi, tapi haruskah demikian jadinya atau benar sudah begitu semestinya...?!
itulah sebagaimana dalam beberapa peluncuran tiap program kebijakan, dengan menekankan pola perguruan tinggi yang berwajah Sami’na Wa ta’na...
Dengan pola tersebut menjelaskan bahwa, birokrat kampus adalah pengambil keputusan tertinggi sebagai pemimpin universitas yang tidak patut untuk disanggah, ditentang apalagi dilawan, karena itu akan melahirkan dosa yang akan menjerumuskan haram dimata sang penguasa (Mungkin).
Itulah kesadaran dari kebijakan dunia pendidikan, yang disetiap upayanya terus merekonstruksi gaya atau budaya kemahasiswaan, seperti sekarang ini yang lebih mengutamakan kulit dan kuantitasnya ketimbang isi atau kualitasnya. Lebih dari pada itu, telah terjadi pemasungan atau pengikatan mahasiswa, dengan dorongan satu kepala’ yang bernama kepalan kebijakan tangan besi. Dengan kekuatan itu, akan lebih mudah untuk mengembalakan para gembala yang bodoh dalam satu tangan pengendalian kebijakan.
Soal kebijakan, itu merupakan persoalan yang terus menerus dibahas dari waktu kewaktu dan terus di diberi beberapa pewarna budaya, warna yang lebih baru dan terus mendapatkan percaturan-pencampuran yang meng-Gila-kan.
Benar atau tidak’ sebenarnya, tidak ada yang namanya kebijakan, semua yang kita dengar adalah aturan yang kita kenal sebagai pengembalaan atau pemaksaan.
Selama bertahun-tahun baik itu unit kegiatan mahasiswa / ukm universitas, fakultas dan jurusan’ yang menanamkan dalam benak kepalanya bahwa, segalah keputusan yang dibuat oleh birokrat penguasa itu dinamakan kebijakan untuk keamanan perguruan tinggi yang berkelanjutan.
Penghalusan atau pelembutan seperti itu sangat menyesatkan. (Mungkin).
Kita tidak bisa menghasilkan sesuatu yang mendasar, apabila gagal melampaui jebakan logika berfikir yang terus menipu dan meninabobokkan mahasiswa yang makin apatis atau cuek saja.
Aturan adalah aturan dan akan tetap bernama aturan, ia ditentukan secara sepihak, elitis, menindas dan berfungsi untuk mengontrol serta mengendalikan seluruh mahasiswa.
Dengan begitu, tidak ada sedikitpun hal yang bijak didalamnya.
Perilaku birokrat di setiap kampus’ haruslah menjadi kesadaran semua elemen yang terlibat, dengan menjadi kacau atau terus menjadi kacau. Kusus utamanya adalah mahasiswa itu sendiri, dengan upaya pendidikan yang mencerdasakan atau seperti dewasa ini yang tertidur pulas dengan kebodohan. Teringgat dalam pembukaan UUD 1945 termaktub didalamnya. Yakni, bangsa harus menjadi cerdas, bukan di pasung hingga menjadi kolot dan diam dengan kenikmatan pribadi atau kelompoknya masing-masing.
Dengan itu, kembali mengajak teman-teman mahasiswa baik dari sektor element manapun, untuk terlibat terhadap problem yang mencekam dan terancam, sebagaimana bahwa ‘Kritis Itu Haram’, permasalahan ini ibarat pahala yang harus kita sepelekan atau diami dengan tertawa manis.
Kampus sebagai lembaga pendidikan formal, pada dasarnya adalah proses dalam memanusiakan-manusia dengan landasan terpenting adalah peroses penyempurnaan kehidupan manusia ‘dari tidak tau menjadi tau’ bukan ‘dari tau malah menjadi tidak tau’ atau ‘berpura-pura agar tidak ada yang tau...”.
Untuk teman-teman yang merasa sengaja tidak sadar akan hal tersebut. Mari terlibat untuk terhindar dari dosa yang diharamkan. Sampai kapan kita menghayalkan dan berdiam diri dengan keluhan hal itu, terlibat atau cukup begitu saja...”
“Dimuka bumi ini, tidak satupun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah “KAMPUS”. KAMPUS adalah PENJARA, tapi dalam beberapa hal KAMPUS lebih kejam ketimbang PENJARA. Di PENJARA kita masih bisa menolak KEBIJAKAN apa yang kita tidak mau, tapi tidak sekejam KAMPUS, yang memaksa untuk mengikuti setiap KEBIJAKAN apa yang ia mau”
"KOKI"
By : IPMawati Nur Indah
Dapatkan informasi terupdate dari kami!
Berdikari C, Jln. Ahmad Yani, Bulukumba
62 853-4365-2494 / 62 853-4043-4280
official@pintuperadaban.com
© Pintu Perdaban.Com. All Rights Reserved. Design by HTML Codex