Baru-baru ini saya mendapat kesempatan berbincang bersama salah satu mahasiswa, Diskusi panjang lebar sempat berlangsung dengan banyak topik yang kami barter dalam pikiran. Sampai pada diskusi yang paling seksi dengan menelanjangi satu bahasan, sambil menunjukkan senyuman sembari mengungkapkan “kampus ini terasa kering”.
agar klasifikasi nya lebih dapat, dengan jidat yang sedikiit mengerut saya bertanya, “di bagian mana nya yang kering” ? matanya menoleh ke gedung rektorat dan gedung-gedung perkuliahan, menghela nafas lalu mengatakan bukan hanya rumput di pekarangan ini yang kering, melainkan sukma gedung perkuliahan di sekeliling kita ini juga demikian.
Bisa kita cari duduk masalahnya, mahasiswa yang lalu-lalang masuk di ruangan-ruangan perkuliahan itu, saat masuk dia masih sangat segar, rambut yang masih bersesuaian dengan perantara belah duanya, semula pelapis jilbab masih kokoh menahan rambut-rambut liar yang selalu ingin tersodor lepas keluar. terlihat wajah ceria tanpa beban saat ia masuk.
Tapi sangat beda saat mereka keluar dari ruangan yang berukuran sekitar 7 kali 7 meter persegi itu, yang kelihatan hanya loyo dan lesu tanpa semangat, entah di apakan mahasiswa itu di dalam ruangan, menurutku terlalu parah bila hal demikian diakibatkan oleh pengapnya ruangan, padahal dia baru saja keluar dari tempat yang kental dengan siraman ilmu dari dosen yang titel nya bukan main. yang tadinya masuk tanpa beban kini keluar seperti kehilangan arah yang dibalut dengan ocehan dan keluhan.
di perhadapkan pada panorama semacam itu, malah membawa saya pada anggapan yang sedikit sinis mengenai ruang-ruang perkuliahan yang berjejer, padahal semua akrab mengenalnya dengan laboratorium pengilmuan yang kaya metodologi juga diperkuat oleh puluhan media pembelajaran dengan mentor jelasnya yaitu dosen. Tapi kenapa kini malah berubah menjadi “neraka psikologis” yang menakutkan sehingga kelelahan sangat nampak di wajah para mahasiswa. Aneh bukan.
Kembali pada epos “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang prinsipil memajukan warga negara melalu pendidikan yang terarah dan berkelanjutan, itu di sinyalir untuk warga negara agar menekuni pendidikan serta mendesak pemerintah supaya meletakan pijar pencerahan seperti bangunan material sekolah dan perguruan tinggi.
Alahasil, sekolah maupun perguruan tinggi baik negeri maupun swasta hampir tidak terhitung jumlahnya dalam hamparan nusantara ini. Tapi apakah hadirnya ratusan bangunan perguruan tinggi bisa membuat kita bernafas lega ?, agaknya masih bisa dihela, sebab itu baru bangunan material, implikasi formanya masih dipertanyakan dalam membangun pengaruh pada perbaikan mental. pendidik maupun yang di didik mesti sama-sama terpelajar juga mapan dalam konteks intelektualisme, yang beriringan dalam menaruh semangat pada perbaikan sosial. kita berharap perguruan tinggi memandang sejenak ke arah itu.
“Dulu, akademisi pernah dianggap sebagai pekerjaan terbaik di dunia yang khas dengan otonomi, keahlian, kepuasan kerja, dan panggilan hati. sekarang sangat sulit untuk kita menemukan seorang dosen yang mempercayai anggapan semacam itu”. Demikian ungkapan yang saya dapat dari salah satu literatur peter fleming dalam bukunya yang sangat laku dikalangan akademisi, “dark academia”. walaupun lebih mengerucut pada pembahasan model pendidikan di amerika dan australia, tapi dari sikap intelektual nya tentang pendidikan yang luas membuat kita kena percikan singgungan agar lebih dalam membaca kondisi pendidikan saat ini.
Seperti pemandangan yang tertutup kabut tebal nan hitam, semakin kesini kian berkembang gen-gen dosen yang mengisi materi kuliah secara serampangan, dalam mengembangkan mata kuliah berbentuk penyajian materi yang tidak searah dengan mata kuliah yang diampuhnya.
Beragam kerumitan dan keanehan, seakan metodologi kreatif yang dinamis itu mati dalam proses mengampuh kecerdasan mahasiswa dalam ruangan. lebih melelahkan lagi ketika perguruan tinggi mengembangbiakkan dosen yang sangat fobia terhadap pertanyaan yang jelas-jelas itu adalah konsekuensi logis dan terencana dari sebuah penyampaian. Sampai-sampai banyak mahasiswa yang begitu sulit mencari pengistilahan untuk kejadian semacam itu, tentu tidak tepat apabila kita katakan itu adalah bagian dari metodologi mendidik. kiranya lebih mendekati kecocokan jika kita menyebutnya sebagai pelaku utama dalam “pengekangan terhadap potensi kecerdasan”. Bagi yang sadar akan hal ini, pasti mengatakan ini ”butuh rekonsiliasi”, agar sederet titel itu tampak lebih berguna.
Keanehan seperti itu sepantasnya tidak bertengger diperguruan tinggi, sama sekali tidak sesuai dengan keaslian yang terpampang di brosur perguruan tinggi yang cukup mengilap, sayangnya itu terlampau menipu dan menjadi perangkap dengan balutan akademis yang menggiurkan. sesalnya, sebagian dari kita masuk ke perangkap itu dengan penuh kesadaran dan harapan sembari berharap anda akan ditawari dengan merek-merek akademis yang berkualitas dan autentik.
Tanpa lupa dengan cobaan yang paling mengerikan, seperti menguaknya Keangkuhan birokrat, Mari sama-sama berikhtiar agar banjir lumpur itu bisa semakin dangkal.
Oleh: Agus Salim
Kabid Hikmah Politik Dan Kebijakan Publik
PC IMM Bulukumba 21-22
Dapatkan informasi terupdate dari kami!
Berdikari C, Jln. Ahmad Yani, Bulukumba
62 853-4365-2494 / 62 853-4043-4280
official@pintuperadaban.com
© Pintu Perdaban.Com. All Rights Reserved. Design by HTML Codex